“Kok belum sekolah
anaknya?”
“Ih, sudah besar, ya.
Sekolah di mana?”
Saya sejujurnya
terkaget-kaget mendapat pertanyaan bertubi-tubi seperti itu saat Rakha beranjak
besar. Masalahnya, beranjak besar ini baru berusia 3 tahun lebih. Masakan 3
tahun sudah disuruh sekolah? Batin saya berteriak.
Meskipun, sejak usia 2
tahun, Rakha sebetulnya sudah ‘bersekolah’. Sekolah di sini adalah Terapi
Wicara yang rutin kami jalani sejak Rakha didiagnosis ‘Speech Delay’ oleh DSA langganan di Solo. Terapi yang dilakukan
seminggu dua kali selama satu jam per kedatangan itu cukup merogoh kantung
kami. Terlebih ayahnya Rakha saat itu sedang dinas belajar, sehingga hanya
menerima gaji pokok saja. Syukurlah biaya kehidupan di Solo masih sangat terjangkau.
Kami masih bisa menikmati Soto Ayam seharga 3000 rupiah semangkuk.
Sejujurnya, saya maupun suami mungkin terlampau santai
dalam mengasuh Rakha. Kami tidak mengikuti teori parenting manapun. Saat muncul
teori populer yang berprinsip tidak boleh melarang anak, bahkan tidak boleh
dimarahi. Suami berprinsip, jika anak salah ya harus ditegur. Kadang kami juga
bertukar peran ‘Good Cop, Bad Cop’. Jika suami yang sedang marah pada Rakha,
maka saya yang bertugas menjelaskan pada Rakha kesalahannya dengan lembut,
lantas mengajaknya meminta maaf pada ayahnya. Jika saya yang sedang marah, maka
suami yang bertugas menemani Rakha saat saya sedang dalam ‘mode murka’.
Belakangan saya membaca kutipan di sebuah website luar mengenai teori parenting dari buku Robin Skynner dan John Cleese. Kutipan tersebut secara garis besar menjabarkan bahwa dalam keluarga yang sehat, terdapat saling pengertian – antara orang tua dan anak-anak saling mendengarkan satu sama lain. Selalu terdapat diskusi mengenai segala hal. Serta bahwa semua anggota keluarga sama pentingnya.
Saya berusaha mengartikan bebas kutipan tersebut dan
menjadikannya tips-tips untuk memilih PAUD anak, namun tentu saja dalam
pelaksanaannya di lapangan orang tua harus bersikap fleksibel.
1. Tanyakan anak
apakah ia mau bersekolah. Uji kesiapannya hingga tidak sekadar ‘mau’ di mulut
saja. Kesiapan usia anak berbeda-beda – seperti yang selalu orang tua saya
ingatkan. Rakha sendiri, saya sadari baru siap beberapa bulan ini di usia 4,5
tahun. Ia menunjukkan komitmen untuk bersekolah dengan pergi ke kamar mandi dan
makan secara sukarela.
2. Carilah PAUD di
sekitar lingkungan rumah dahulu. Biasanya terdapat satu atau dua PAUD yang
berlokasi tidak jauh dari rumah. Kembali bawa anak saat survei ke PAUD,
tanyakan kesediaannya bersekolah di tempat tersebut.
3. Sesuaikan
dengan alokasi keuangan keluarga. PAUD dengan biaya tinggi maupun terjangkau
tidak menjadi masalah. Namun akan menjadi masalah jika biaya PAUD menjadi
sumber keributan antara orang tua. Diskusikan dengan suami / istri.
4. Beberapa PAUD
mengizinkan untuk mencoba dahulu sebelum mendaftar menjadi murid. Terutama jika
kita survei PAUD saat tengah semester dan belum saatnya pendaftaran murid baru.
Tanyakan kepada gurunya langsung, lebih baik dengan guru yang lebih senior.
Rakha dua kali mencoba dahulu selama sebulan di dua PAUD sebelum menemukan yang
ia sungguh sukai.
5. Saat anak
mencoba suatu PAUD, perhatikan interaksi antara guru dan murid serta murid
dengan murid. Saya sangat terkesan
dengan PAUD yang menerima Rakha apa adanya. Gurunya sangat sabar, selama
sebulan Rakha menolak duduk bersama yang lain, namun Rakha terus menerus diajak
ikut serta. Saya tidak memungkiri bahwa guru ini menjadi salah satu alasan saya
memasukkan Rakha ke PAUD tersebut.
Seperti apapun PAUD
yang akhirnya dipilih, sebaiknya orang tua tetap tidak melepaskan pengawasan
dan pengajaran sepenuhnya kepada guru-guru. Karena jika kita berhitung, PAUD
itu hanya 1,5 - 2 jam. Dan di antara 2 jam tersebut, sebagian besarnya adalah
anak belajar bersosialisasi dengan temannya alias main. Selama berbulan-bulan
saya mengikuti Rakha belajar di PAUD (karena ia masih tidak mau ditinggal), saya
menyadari bahwa guru PAUD tetap tidak bisa menghandle semua anak. Meski mereka
melakukannya dengan sangat luar biasa, berbagai multi tasking – mengajar, mengajak anak yang enggan belajar,
menyapu makanan bekal yang tumpah, menemani anak ke toilet, melerai
pertengkaran, dan banyak lagi, guru-guru ini, tetap manusia biasa.
sabar ya, Bunda Rakha.
BalasHapusAnakku ga ikut paud, mba dua2nya. Jadi begitu lima tahun masuk TK terus masuk madrasah pas 6 tahun.
Alhamdulillaah semua lancar dan baik-baik aja.
SaLam untuk Rakha ya, Mba
Terima kasih, mak Ahliah :) Alhamdulillah lancar ya, mak :)
HapusTerima kasih, salam dari kami juga :D