Selasa, 02 Mei 2017

Cara Memilih PAUD untuk Anak



“Kok belum sekolah anaknya?”
“Ih, sudah besar, ya. Sekolah di mana?”

Saya sejujurnya terkaget-kaget mendapat pertanyaan bertubi-tubi seperti itu saat Rakha beranjak besar. Masalahnya, beranjak besar ini baru berusia 3 tahun lebih. Masakan 3 tahun sudah disuruh sekolah? Batin saya berteriak. 

Meskipun, sejak usia 2 tahun, Rakha sebetulnya sudah ‘bersekolah’. Sekolah di sini adalah Terapi Wicara yang rutin kami jalani sejak Rakha didiagnosis ‘Speech Delay’ oleh DSA langganan di Solo. Terapi yang dilakukan seminggu dua kali selama satu jam per kedatangan itu cukup merogoh kantung kami. Terlebih ayahnya Rakha saat itu sedang dinas belajar, sehingga hanya menerima gaji pokok saja. Syukurlah biaya kehidupan di Solo masih sangat terjangkau. Kami masih bisa menikmati Soto Ayam seharga 3000 rupiah semangkuk. 

            Sejujurnya, saya maupun suami mungkin terlampau santai dalam mengasuh Rakha. Kami tidak mengikuti teori parenting manapun. Saat muncul teori populer yang berprinsip tidak boleh melarang anak, bahkan tidak boleh dimarahi. Suami berprinsip, jika anak salah ya harus ditegur. Kadang kami juga bertukar peran ‘Good Cop, Bad Cop’. Jika suami yang sedang marah pada Rakha, maka saya yang bertugas menjelaskan pada Rakha kesalahannya dengan lembut, lantas mengajaknya meminta maaf pada ayahnya. Jika saya yang sedang marah, maka suami yang bertugas menemani Rakha saat saya sedang dalam ‘mode murka’. 
 
Salah satu PAUD yang pernah kami coba
         

   Belakangan saya membaca kutipan di sebuah website luar mengenai teori parenting dari buku Robin Skynner dan John Cleese. Kutipan tersebut secara garis besar menjabarkan bahwa dalam keluarga yang sehat, terdapat saling pengertian – antara orang tua dan anak-anak saling mendengarkan satu sama lain. Selalu terdapat diskusi mengenai segala hal. Serta bahwa semua anggota keluarga sama pentingnya. 

           Saya berusaha mengartikan bebas kutipan tersebut dan menjadikannya tips-tips untuk memilih PAUD anak, namun tentu saja dalam pelaksanaannya di lapangan orang tua harus bersikap fleksibel.
            1.  Tanyakan anak apakah ia mau bersekolah. Uji kesiapannya hingga tidak sekadar ‘mau’ di mulut saja. Kesiapan usia anak berbeda-beda – seperti yang selalu orang tua saya ingatkan. Rakha sendiri, saya sadari baru siap beberapa bulan ini di usia 4,5 tahun. Ia menunjukkan komitmen untuk bersekolah dengan pergi ke kamar mandi dan makan secara sukarela.
            2.  Carilah PAUD di sekitar lingkungan rumah dahulu. Biasanya terdapat satu atau dua PAUD yang berlokasi tidak jauh dari rumah. Kembali bawa anak saat survei ke PAUD, tanyakan kesediaannya bersekolah di tempat tersebut.
            3.  Sesuaikan dengan alokasi keuangan keluarga. PAUD dengan biaya tinggi maupun terjangkau tidak menjadi masalah. Namun akan menjadi masalah jika biaya PAUD menjadi sumber keributan antara orang tua. Diskusikan dengan suami / istri.
            4.  Beberapa PAUD mengizinkan untuk mencoba dahulu sebelum mendaftar menjadi murid. Terutama jika kita survei PAUD saat tengah semester dan belum saatnya pendaftaran murid baru. Tanyakan kepada gurunya langsung, lebih baik dengan guru yang lebih senior. Rakha dua kali mencoba dahulu selama sebulan di dua PAUD sebelum menemukan yang ia sungguh sukai.
            5.  Saat anak mencoba suatu PAUD, perhatikan interaksi antara guru dan murid serta murid dengan murid. Saya sangat terkesan  dengan PAUD yang menerima Rakha apa adanya. Gurunya sangat sabar, selama sebulan Rakha menolak duduk bersama yang lain, namun Rakha terus menerus diajak ikut serta. Saya tidak memungkiri bahwa guru ini menjadi salah satu alasan saya memasukkan Rakha ke PAUD tersebut.



Seperti apapun PAUD yang akhirnya dipilih, sebaiknya orang tua tetap tidak melepaskan pengawasan dan pengajaran sepenuhnya kepada guru-guru. Karena jika kita berhitung, PAUD itu hanya 1,5 - 2 jam. Dan di antara 2 jam tersebut, sebagian besarnya adalah anak belajar bersosialisasi dengan temannya alias main. Selama berbulan-bulan saya mengikuti Rakha belajar di PAUD (karena ia masih tidak mau ditinggal), saya menyadari bahwa guru PAUD tetap tidak bisa menghandle semua anak. Meski mereka melakukannya dengan sangat luar biasa, berbagai multi tasking – mengajar, mengajak anak yang enggan belajar, menyapu makanan bekal yang tumpah, menemani anak ke toilet, melerai pertengkaran, dan banyak lagi, guru-guru ini, tetap manusia biasa.


2 komentar:

  1. sabar ya, Bunda Rakha.

    Anakku ga ikut paud, mba dua2nya. Jadi begitu lima tahun masuk TK terus masuk madrasah pas 6 tahun.

    Alhamdulillaah semua lancar dan baik-baik aja.

    SaLam untuk Rakha ya, Mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, mak Ahliah :) Alhamdulillah lancar ya, mak :)
      Terima kasih, salam dari kami juga :D

      Hapus

Hai, terima kasih sudah mampir :) semoga postingan ini bermanfaat untuk kamu. Terima kasih sudah meluangkan waktu berkomentar :)
Mohon maaf, komentar dengan link hidup akan saya hapus.