Entah bagaimana,potongan-potongan adegan acak muncul di kepalaku. Meronta untuk dituliskan. Dan memang biasanya seperti itu jika sudah terlalu lama tidak menulis cerita. Entah cerpen ataupun yang lebih panjang seperti novel.
Potongan-potongan adegan ini terus menumpuk, yang baru terus datang, sedangkan yang lama belum dituangkan.
Mungkin ini isyarat untuk mulai menulis lagi dengan tekun.
Selasa, 30 Mei 2017
Minggu, 28 Mei 2017
(Review) Avie Salon Muslimah di Bekasi
Sudah lama saya mencari-cari
salon untuk sekedar potong rambut atau perawatan diri. Saya cenderung lebih
menyukai salon muslimah, atau paling tidak khusus perempuan.
Sebetulmya saya sudah pernah ke
salon khusus perempuan, langganan saya dan ibu saya sejak lama. Namun sejak
terakhir datang, saya merasa kurang nyaman karena ternyata pria bisa masuk
dengan leluasa, meskipun hanya menunggui salah satu pelanggan. Sejak itu saya
urung pergi ke sana dan mulai mencari salon-salon lain.
Sekitar dua minggu lalu (Mei
2017) saya akhirnya berkesempatan mencoba salah satu salon muslimah di bekasi,
dekat dengan tempat tinggal saya. Salon Avie ini terletak di Jl. Jati Makmur
No.9, Jatimakmur, Pondok Gede, kota Bekasi, 17413. Semula saya tidak menyadari
posisi salon ini meski sering berjalan melewatinya. Hal ini karena papan nama
salon diletakkan di atas. Ternyata lokasi yang dipakai salon ini bergabung
dengan toko / butik baju dengan nama yang sama, Avie Boutique. Dan yang sering saya
lihat adalah papan nama butik ini. Saya baru bisa melihat papan nama Salon Avie
saat berada di ruko seberangnya, di dekat Holland Bakery dan Pizza Hut
Delivery.
![]() |
Interior Avie Salon Muslimah |
Minggu, 21 Mei 2017
Pancaran Semangat yang Memesona
Saya punya kepercayaan
diri yang cukup rendah. Bahkan terhadap karya saya sendiri. Padahal saya
mengerjakan karya itu dengan sangat bersemangat dan mencari data-data terlebih
dahulu. Saya membayangkan karya saya sangat kecewa karena jarang saya bela, dan
kekecewaan itu merambat ke saya. Jadilah saya pengarang yang rendah diri,
kecewa, dan memojok sendiri.
Itu bukan hal yang saya
inginkan. Jika saya melihat ke belakang kelak, saya ingin bisa memasarkan
karya-karya saya dengan semangat yang sama seperti saat saya mengerjakannya.
Oh, saya tahu saya punya binar-binardan semangat itu saat bekerja. Saya hanya kesulitan
menunjukkannya kepada orang lain.
Berikut saya sertakan
contoh karya saya dahulu berupa komik. Saya membaca berbagai buku dan browsing
berbagai data. Lantas data-data tersebut saya olah, padatkan, dan seleksi
hingga saya cukup yakin bahwa data itu layak tayang di komik saya.
![]() |
Penemuan Madu. Elex Media Komputindo. 2006. |
Jumat, 19 Mei 2017
Cara Saya Mengiringi Hari (Anak) yang Aktif
"Ma, ayuk
main." Rakha sudah mengulurkan mainan mobil.
Saya menyanggupi.
"Ma, ayuk
main." Rakha mengulurkan mainan robot-robotan.
Saya mengacungkan
jempol dan beranjak berdiri padahal baru sepuluh menit selonjoran setelah
mencuci.
“Ma, tolong ambilkan
itu di atas.” Ujarnya sambil menunjuk lego-legoan yang saya simpan di atas
lemari.
Saya mengangguk pelan
dan mengambilkan barang yang diminta dari atas lemari. Mata saya menyapu
mainan-mainan lain yang berserakan di laintai. Benak saya mulai menghitung
jumlah mainan yang akan saya masukkan ke dalam kontainer khusus mainan.
"Ma, ayuk main.
Mama jadi monster."
Saya berubah jadi
godzilla betulan.
***
Pernah berada di posisi
saya? Anak luar biasa aktif, dan hanya kita yang diajak main?
Badan dan pikiran
rasanya, masya Allah.....
Apalagi jika anak tidak
mau tidur siang, rasanya perlahan-lahan tanduk (emosi) saya seperti akan muncul.
"Ayo bobo
dulu." (arti : Mama mau istirahat)
"Mau minum
susu."
"Nah, udah minum
susu, ayo bobo." (arti : cepetan, Mama udah capek banget )
"Mau
nonton.."
"..." (arti :
GRRRRAAAAAAH)
***
Lalu saya ambil kopi
sachet, tuang air panas, buang isinya, dan pegang bungkusnya dengan bingung.
...
Selasa, 02 Mei 2017
Cara Memilih PAUD untuk Anak
“Kok belum sekolah
anaknya?”
“Ih, sudah besar, ya.
Sekolah di mana?”
Saya sejujurnya
terkaget-kaget mendapat pertanyaan bertubi-tubi seperti itu saat Rakha beranjak
besar. Masalahnya, beranjak besar ini baru berusia 3 tahun lebih. Masakan 3
tahun sudah disuruh sekolah? Batin saya berteriak.
Meskipun, sejak usia 2
tahun, Rakha sebetulnya sudah ‘bersekolah’. Sekolah di sini adalah Terapi
Wicara yang rutin kami jalani sejak Rakha didiagnosis ‘Speech Delay’ oleh DSA langganan di Solo. Terapi yang dilakukan
seminggu dua kali selama satu jam per kedatangan itu cukup merogoh kantung
kami. Terlebih ayahnya Rakha saat itu sedang dinas belajar, sehingga hanya
menerima gaji pokok saja. Syukurlah biaya kehidupan di Solo masih sangat terjangkau.
Kami masih bisa menikmati Soto Ayam seharga 3000 rupiah semangkuk.
Sejujurnya, saya maupun suami mungkin terlampau santai
dalam mengasuh Rakha. Kami tidak mengikuti teori parenting manapun. Saat muncul
teori populer yang berprinsip tidak boleh melarang anak, bahkan tidak boleh
dimarahi. Suami berprinsip, jika anak salah ya harus ditegur. Kadang kami juga
bertukar peran ‘Good Cop, Bad Cop’. Jika suami yang sedang marah pada Rakha,
maka saya yang bertugas menjelaskan pada Rakha kesalahannya dengan lembut,
lantas mengajaknya meminta maaf pada ayahnya. Jika saya yang sedang marah, maka
suami yang bertugas menemani Rakha saat saya sedang dalam ‘mode murka’.
Langganan:
Postingan (Atom)